Pages

Selasa, 20 Desember 2011

SEJARAH NATAL MENURUT AL-QUR’AN





Kata natal berasal dari bahasa Latin yang berarti lahir. Namun secara istilah natal berarti upacara yang dilakukan oleh umat Kristiani untuk memperingati hari kelahiran Isa Al-Masih, yang mereka sebut dengan Tuhan Yesus.

Peringatan Natal baru tercetus antara tahun 325-254 SM oleh Paus Liberus yang ditetapkan pada tanggal 25 Desember, sekaligus sebagai momentum penyembahan Dewa Matahari, yang kadang juga diperingati pada tanggal 6 Januari, 28 April, 18 Mei, atau 18 Oktober. Kemudian, oleh Kaisar Konstantin tanggal 25 Desember tersebut akhirnya disahkan sebagai hari kelahiran Yesus.

Untuk menyikap tabir Natal yang diperingati pada tanggal 25 Desember yang diyakini sebagai hari kelahiran Yesus, marilah kita simak apa yang diberitakan oleh Bibel (injil) tentang kelahiran Yesus, sebagaimana yang dijelaskan dalam Injil Lukas (2): 1-8 dan Injil Matius (2): 1 dan 10-11 (Adapun Injil Markus dan Yohanes tidak menuliskan kisah kelahiran Yesus).

Bibel (Injil) Lukas (2): 1-8 berbunyi, ” Pada waktu itu Kaisar Agustus mengeluarkan suatu perintah, menyuruh untuk mendaftarkan semua orang di seluruh dunia. Inilah pendaftaran pertama kali diadakan sewaktu Kirenius menjadi wali negeri di Siria. Maka pergilah semua orang mendaftarkan diri masing-masing di kotanya. Demikian juga Yusuf pergi dari kota Nazaret di Galilea ke Yudea ke kota Daud yang bernama Betlehem, karena ia berasal dari keluarga dan keturunan Daud, supaya didaftarkan bersama-sama dengan Maria, tunangannya yang sedang mengandung. Ketika mereka di situ, tibalah waktunya bagi Maria untuk bersalin dan ia melahirkan seorang anak laki-laki, anaknya yang sulung, lalu dibungkusnya dengan lampin dan dibaringkannya di dalam palungan, karena tidak ada tempat bagi mereka di rumah penginapan. Di daerah itu ada gembala-gembala yang tinggal di padang sedang menjaga kawanan ternak mereka pada waktu malam. “

Bibel (Injil) Matius (2): 1 dan 10-11 berbunyi, “Sesudah Yesus dilahirkan di Betlehem di tanah Yudea pada zaman Herodus datangalah orang-orang Majus dari Timur ke Yerussalem. Ketika mereka melihat bintang itu sangat bersuka citalah mereka. Maka masuklah mereka ke dalam rumah itu dan melihat anak itu bersama maria, ibunya.”

Wahai saudaraku, perhatikanlah isi kedua Bibel di atas, terutama kata atau kalimat yang bergaris bawah dan dicetak tebal. Maka, dapat kita ketahui bahwa terdapat pertentangan yang cukup jelas antara kedua Bibel tersebut dalam menjelaskan kelahiran Yesus. Pada Bibel Lukas dijelaskan bahwa Yesus lahir pada zaman Kaisar Agustus, sedangkan Bibel Matius pada zaman Herodus. Mana yang benar Nich???

Kemudian, kalau kita pahami isi Bibel di atas, maka akan kita ketahui bahwa pada hakikatnya kedua Bibel tersebut dengan sendirinya telah menolak mentah-mentah kelahiran Yesus pada tanggal 25 Desember. Percaya tidak…!

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman, ” Maka rasa sakit akan melahirkan memaksa ia (Maryam) bersandar pada pangkal pohon kurma, ia berkata, ’Aduhai, alangkah baik aku mati sebelum ini, dan aku menjadi sesuatu yang tidak berarti lagi dilupakan.’ Maka Malaikat Jibril menyerunya dari tempat yang rendah, ’Janganlah kamu bersedih hati, sesungguhnya Tuhanmu telah menjadikan anak sungai di bawahmu.’ Dan goyangkanlah pangkal pohon kurma itu ke arahmu, niscaya pohon itu akan menggugurkan buah kurma yang masak kepadamu.” [QS. Maryam (19): 23-25]

So (jadi), menurut Al-Qur’an bahwa Isa Al-Masih dilahirkan pada musim panas disaat pohon-pohon kurma berbuah dengan lebatnya.

Tidak berlebihan jika kita coba meminjam pendapat sarjana Kristen bernama Dr. Arthur S. Peak. Beliau mengatakan bahwa sebenarnya Yesus lahir dalam bulan Elul (Bulan Yahudi), bersamaan dengan bulan Agustus sampai September. [Lihat Sholeh A. Nahdi, Bibel dalam Timbangan, hal. 32]

Kemudian, tidak salah juga jika mengutip tulisan Dr. Charles Franciss Petter yang mengatakan, “…Kesulitan menentukan tanggal kelahiran Yesus, kehidupannya, kematiannya terpaksa ditimbulkan kembali karena adanya keterangan-keterangan yang banyak terdapat dalam gulungan-gulungan Essene (yang terdapat di gua Qamran…” [Lihat Dr. Charles Franciss Petter, The Lost of Jesus Revealed , hal 119]

Ternyata antara pemahaman yang beredar di kalangan umat Kristen tentang kelahiran Yesus, sebagaimana yang telah disampaikan oleh Bibel tidaklah menunjukkan suatu kepastian, sehingga banyak dari ilmuwan-ilmuwan mereka yang mengatakan bahwa Yesus lahir pada tahnu 8 SM, tahun 6 SM, dan tahun sesudah Masehi. [Lihat Irena Handono, Perayaan Natal 25 Desember: Antara Dogma dan Toleransi, hal. 25]

Benarkah Nabi Isa as lahir tanggal 25 Desember?

Dalam kajian tersebut ditegaskan bahwa telah terjadi kesalahan sejarah dan penyelewengan literatur dalam kitab injil yang menunjukkan bahwa Nabi Isa as lahir pada tanggal 25 Desember.

Kelahiran Nabi Isa as.

Padahal dalam Injil Lucas menjelaskan bahwa Nabi Isa as lahir pada masa musim gugur, yakni sekitar pada bulan Maret.

Sebagai rujukan atau landasan, Al-Qur'an juga menjelaskan bahwa Nabi Isa as lahir di bawah pohon kurma yang saat itu banyak buahnya. Hal ini berarti Nabi Isa as lahir pada musim gugur.

Perhatikan ayat berikut ini,

فَحَمَلَتْهُ فَانْتَبَذَتْ بِهِ مَكَانًا قَصِيًّا ٢٢

Maka Maryam mengandungnya, lalu ia menyisihkan diri dengan kandungannya itu ke tempat yang jauh.” [QS. Maryam: 22]

فَأَجَاءَهَا الْمَخَاضُ إِلَى جِذْعِ النَّخْلَةِ قَالَتْ يَا لَيْتَنِي مِتُّ قَبْلَ هَذَا وَكُنْتُ نَسْيًا مَنْسِيًّا ٢٣

Maka rasa sakit akan melahirkan anak memaksa ia (bersandar) pada pangkal pohon kurma, Dia berkata: "Aduhai, Alangkah baiknya aku mati sebelum ini, dan aku menjadi barang yang tidak berarti, lagi dilupakan". [QS. Maryam: 23]

فَنَادَاهَا مِنْ تَحْتِهَا أَلا تَحْزَنِي قَدْ جَعَلَ رَبُّكِ تَحْتَكِ سَرِيًّا ٢٤

Maka Jibril menyerunya dari tempat yang rendah: "Janganlah kamu bersedih hati, Sesungguhnya Tuhanmu telah menjadikan anak sungai di bawahmu.” [QS. Maryam: 24]

وَهُزِّي إِلَيْكِ بِجِذْعِ النَّخْلَةِ تُسَاقِطْ عَلَيْكِ رُطَبًا جَنِيًّا ٢٥

dan goyanglah pangkal pohon kurma itu ke arahmu, niscaya pohon itu akan menggugurkan buah kurma yang masak kepadamu,” [QS. Maryam: 25]

فَكُلِي وَاشْرَبِي وَقَرِّي عَيْنًا فَإِمَّا تَرَيِنَّ مِنَ الْبَشَرِ أَحَدًا فَقُولِي إِنِّي نَذَرْتُ لِلرَّحْمَنِ صَوْمًا فَلَنْ أُكَلِّمَ الْيَوْمَ إِنْسِيًّا ٢٦

Maka makan, minum dan bersenang hatilah kamu. jika kamu melihat seorang manusia, Maka Katakanlah: "Sesungguhnya aku telah bernazar berpuasa untuk Tuhan yang Maha pemurah, Maka aku tidak akan berbicara dengan seorang manusiapun pada hari ini". [QS. Maryam: 26]

Dalam ayat tersebut menunjukkan bahwa kelahiran Nabi Isa as adalah bukan 25 Desember, melainkan pada musim gugur kurma, karena Maryam mengambil kurma untuk makanan mereka berdua.

Tidak dijelaskan secara detail kapan Nabi Isa as lahir, namun dar literatur dan kitab Injil menyatakan bahwa Nabi Isa as lahir sekitar bulan Maret, musim gugur. Rakyat Konstantinopel memperingati kelaharian Isa dengan menyembah dewa matahari pada musim gugur.

Akan tetapi, Paulus Liberus di Roma pada abad ke-4 Masehi mengubah literatur Injil dengan menyebutkan Yesus lahir pada 25 Desember. Hal itu diperuntukkan untuk menyatukan umat Kristen dan Katolik dalam perayaan Natal, karena sesungguhnya perayaan Natal itu sendiri merupakan budaya dari umat Katolik Roma pada masa Kaisar Konstantinopel.

Kaisar Konstantin melakukan persembahan dan perayaan untuk menyembah dewa matahari pada musim gugur, kemudian diikuti oleh rakyat yang akhirnya dikenal dengan Natal.

Jadi, dalam Al Qur'an telah menunjukkan bahwa Hari Natal, Hari Kelahiran Nabi Isa as bukan tanggal 25 Desember, melainkan pada musim gugur kurma, yakni sekitar bulan Maret. Wallahu A'lam.

Kamis, 01 Desember 2011

PAHAM-PAHAM YANG HARUS DILURUSKAN




[KITAB MAFAHIM YUJIB AN TUSHOHHAH]

[Prof. DR. Sayyid Muhammad bin Alwi Al-Maliki Al-Hasani]           


مفاهيم يجب أن تصحح
لسليل بيت العلم والتقى الدكتور محمد علوي المالكي الحسني
خادم العلم الشريف بالبلد الحرام
الناشر: دار جوامع الكلم الدراسة القاهرة

موقف الشيخ محمد بن عبد الوهاب
وقد وقف الشيخ محمد بن عبد الوهاب رحمه الله في هذا الميدان موقفاً عظيماً ، قد يستنكره كثير ممن يدعي أنه منسوب إليه ومحسوب عليه ، ثم يكيل الحكم بالتكفير جزافاً لكل من خالف طريقته ونبذ فكرته ، وها هو الشيخ محمد ابن عبد الوهاب ينكر كل ما ينسب إليه من هذه التفاهات والسفاهات والافتراءات فيقول ضمن عقيدته في رسالته الموجهة لأهل القصيم قال : ثم  لا يخفى عليكم أنه بلغني أن رسالة سليمان بن سحيم قد وصلت إليكم وأنه قبلها وصدقها بعض المنتمين للعلم في جهتكم ، والله يعلم أن الرجل افترى عليَّ أموراً لم أقلها ولم يأت أكثرها على بالي .
فمنها : قوله : إني مبطل كتب المذاهب الأربعة ، وإني أقول : إن الناس من ستمائة سنة ليسوا على شيء ، وإني أدعي الاجتهاد ، وإني خارج عن التقليد ، وإني أقول : إن اختلاف العلماء نقمة ، وإني أكفر من توسل بالصالحين ، وإني أكفر      البوصيري لقوله : يا أكرم الخلق ، وإني أقول : لو أقدر على هدم قبة رسول الله    لهدمتها ، ولو أقدر على الكعبة لأخذت ميزابها وجعلت لها ميزاباً من خشب ، وإني أحرم زيارة قبر النبي ، وإني أنكر زيارة قبر الوالدين وغيرهما ، وإني أكفر   من حلف بغير الله ، وإني أكفر ابن الفارض وابن عربي ، وإني أحرق دلائل الخيرات وروض الرياحين ، وأسميه روض الشياطين .
جوابي عن هذه المسائل : أن أقول : سُبْحَانَكَ هَذَا بُهْتَانٌ عَظِيمٌ ، وقبله من بهت محمداً صلى الله عليه وسلم أنه يسب عيسى بن مريم ، ويسب الصالحين ، فتشابهت قلوبهم بافتراء الكذب ، وقول زور . قال تعالى : إِنَّمَا يَفْتَرِي الْكَذِبَ الَّذِينَ لاَ يُؤْمِنُونَ بِآيَاتِ اللّهِ الآية ، بهتوه صلى الله عليه وسلم بأنه يقول : إن الملائكـة وعيسى وعزيراً في النار ، فأنزل الله في ذلك : إِنَّ الَّذِينَ سَبَقَتْ لَهُم مِّنَّا الْحُسْنَى أُوْلَئِكَ عَنْهَا مُبْعَدُونَ  .
أنظر الرسالة الأولى من الرسائل الشخصية ضمن مجموعة مؤلفات الشيخ الإمام محمد بن عبد الوهاب المنشورة باهتمام جامعة الإمام محمد بن سعود الإسلامية .

SIKAP SYAIKH MUHAMMAD IBN ‘ABDUL WAHHAB MENYANGKUT
PENGKAFIRAN      

Syaikh Muhammad ibn ‘Abdul Wahhab Rahimahullah memiliki sikap mulia dalam hal
pengkafiran. Sebuah sikap yang dipandang aneh oleh mereka yang mengklaim sebagai pendukungnya kemudian memvonis kafir secara serampangan terhadap siapapun yang berbeda jalan dan menolak pemikiran mereka. Padahal Syaikh Muhammad ibn ‘Abdul Wahhab sendiri menolak semua pandangan-pandangan tak berharga yang dialamatkan kepadanya. Dalam sebuah risalah yang dikirimkannya kepada penduduk Qashim pada bahasan tentang aqidah ia menulis sebagai berikut:

“Telah jelas bagi kalian bahwa telah sampai kepadaku berita mengenai risalah Sulaiman ibn Suhaim yang telah sampai kepada kalian dan bahwa sebagian ulama di daerah kalian menerima dan membenarkan isi risalah tersebut. Allah mengetahui bahwa Sulaiman ibn Suhaim mengada-ada atas nama saya ucapan-ucapan yang tidak pernah aku katakan dan kebanyakan tidak terlintas sama sekali di hatiku”.

“Diantaranya ucapan Sulaiman bahwa saya menganggap sesat semua kitab madzhab empat Bahwa manusia semenjak 600 tahun yang silam tidak menganut agama yang benar. Saya mengklaim mampu berijtihad dan lepas dari taqlid. Perbedaan para ulama adalah malapetaka dan saya mengkafirkan orang yang melakukan tawassul dengan orangorang shalih, dan saya mengkafirkan Imam Al-Bushoiri karena ucapannya: “Wahai Makhluk paling mulia”. “Seandainya saya mampu meruntuhkan kubah Rasulullah Shollallohu ‘alaihi wa sallam maka saya akan melakukannya dan jika mampu mengambil talang Ka’bah yang terbuat dari emas maka saya akan menggantinya dengan talang kayu. Saya mengharamkan ziarah ke makam Nabi Shollallohu ‘alaihi wa sallam, mengingkari ziarah ke makam kedua orang tua dan makam orang lain, saya mengkafirkan orang yang bersumpah dengan selain Allah, mengkafirkan Ibnu Faridl dan Ibnu ‘Araby, dan bahwasanya saya membakar kitab Dalailul Khairaat dan Raudlul Rayaahin yang kemudian saya namakan Raudlul Syayaathiin”.

”Jawaban saya atas tuduhan telah mengucapkan perkataan-perkataan di atas adalah firman allah :

سُبْحَانَكَ هَذَا بُهْتَانٌ عَظِيمٌ
Artinya : "Maha suci Engkau (ya Tuhan kami), ini adalah Dusta yang besar."
(Q.S. An-Nuur : 16)

Sebelum apa yang saya alami terjadi, peristiwa mirip pernah dialami Nabi Shollallohu ‘alaihi wa sallam. Beliau dituduh telah memaki Isa ibn Maryam dan orang-orang shalih. Hati mereka yang melakukan perbuatan terkutuk ini sama persis sebab menciptakan kebohongan dan ucapan palsu. Allah berfirman :

إِنَّمَا يَفْتَرِي الْكَذِبَ الَّذِينَ لاَ يُؤْمِنُونَ بِآيَاتِ اللّهِ
"Sesungguhnya yang mengada-adakan kebohongan, hanyalah orang-orang yang tidak beriman kepada ayat-ayat Allah." (Q.S. An-Nahl : 105)

Kafir Quraisy melontarkan tuduhan palsu bahwa Nabi Shollallohu ‘alaihi wa sallam mengatakan bahwa Malaikat, Isa dan ‘Uzair berada di neraka. Lalu Allah menurunkan firman-Nya :

إِنَّ الَّذِينَ سَبَقَتْ لَهُم مِّنَّا الْحُسْنَى أُوْلَئِكَ عَنْهَا مُبْعَدُونَ 
"Bahwasanya orang-orang yang telah ada untuk mereka ketetapan yang baik dari Kami, Mereka itu dijauhkan dari neraka."(Q.S. Al-Anbiyaa` : 101)

رسالة مهمة أخرى للشيخ في الموضع 
هذه رسالة أرسلها الشيخ محمد بن عبد الوهاب إلى السويدي عالم من أهل العراق ، وكان قد أرسل له كتاباً وسأله عما يقول الناس فيه ، فأجابه بهذه الرسالة : قال فيها :
إن إشاعة البهتان بما يستحي العاقل أن يحكيه فضلاً عن أن يفتريه مما قلتم : أنني أكفر جميع الناس إلا من اتبعني ، ويا عجباً كيف يدخل هذا في عقل عاقل ، وهل يقول هذا مسلم ؟  وما قلتم : لو أنني أقدر على هدم قبة النبي صلى الله عليه وسلم لهدمتها ، وفي دلائل الخيرات وحرمته ، وأنهى عن الصلاة على النبي صلى الله عليه وسلم بأي النظم كان ، فهذا من البهتان ، والمسلم لا يظن من قلبه أجلّ من كتاب الله .
وفي صحيفة 64 من نفس الكتاب قال رحمه الله : وما قلتم : أنني أكفر من توسل بالصالحين ، وأكفر البوصيري لقوله : يا أكرم الخلق ، وأنكر زيارة قبر النبي صلى الله عليه وسلم، وأنكر زيارة قبور الوالدين وغيرهم ، وأكفر من حلف بغير الله .
جوابي على ذلك أقول : سبحانك هذا بهتان عظيم .
أنظر القسم الخامس الرسائل الشخصية ص37 من مجموعة مؤلفات الشيخ -.

RISALAH PENTING LAIN KARYA SYAIKH MUHAMMAD IBN ABDUL WAHHAB DALAM MASALAH PENGKAFIRAN

Risalah ini dikirimkan kepada As-Suwaidi, seorang ulama Iraq. Sebelumnya As-Suwaidi mengirimkan buku dan menanyakan mengenai apa yang diperbincangkan masyarakat. Kemudian Syaikh menjawab dalam risalahnya:

”Tersebarnya kebohongan adalah hal yang membuat orang yang berakal merasa malu untuk menceritakannya apalagi untuk membuat-buat hal-hal yang tidak ada faktanya. Sebagian dari apa yang kalian katakan adalah bahwasanya saya mengkafirkan semua orang kecuali mereka yang mengikutiku. Sungguh aneh, bagaimana mungkin kebohongan ini masuk ke akal orang yang berakal? Dan bagaimana mungkin seorang muslim akan melontarkan ucapan demikian?” “Dan apa yang kalian katakan : Seandainya saya mampu meruntuhkan kubah Nabi Shollallohu ‘alaihi wa sallam, niscaya saya akan merealisasikannya, membakar dalailul khairaat jika mampu dan melarang bersholawat kepada Nabi dengan ungkapan sholawat apapun. Perkataan-perkataan ini dikategorikan kebohongan. Dalam hati seorang muslim tidak terbesit dalam hatinya sesuatu yang lebih agung melebihi Al-Qur’an.”

Pada halaman 64 dari kitab yang sama Syaikh berkata : "Apa yang kalian katakan bahwa saya telah mengkafirkan orang yang melakukan tawassul dengan orang-orang shalih, mengkafirkan Bushiri karena ungkapannya : Wahai makhluk paling mulia, mengingkari diperkenankannya ziarah kubur Nabi Shollallohu ‘alaihi wa sallam, kuburan kedua orang tua dan kuburan-kuburan orang lain serta mengkafirkan orang yang bersumpah menggunakan nama selain Allah, maka jawaban saya atas semua tuduhan ini adalah Firman Allah:

سُبْحَانَكَ هَذَا بُهْتَانٌ عَظِيمٌ
"Maha suci Engkau (ya Tuhan kami), ini adalah Dusta yang besar."(Q.S. An-Nuur : 16)

[Lihat: Bagian kelima Ar-Rosail Asy-Syakhshiyah hal. 37 dari ensiklopedi kitab karangan Muhammad bin Abdul Wahhab]

سباب المسلم فسوق وقتاله كفر 
إعلم أنّ كراهة المسلمين ومقاطعتهم ومدابرتهم محرّمة وكان سباب المسلم فسوقاً وقتاله كفراً إذا استحل .
وكفى رادعاً في هذا الباب حديث خالد بن الوليد رضي الله عنه في سريته إلى بني جذيمة يدعوهم إلى الإسلام ، فلما انتهى إليهم تلقوه ، فقال لهم : أسلموا ، فقالوا : نحن قوم مسلمون ، قال : فألقوا سلاحكم وانزلوا ، قالوا : لا والله ما بعد وضع السلاح إلا القتل ما نحن بآمنين لك ولا لمن معك ، قال خالد فلا أمان لكم إلا أن تنزلوا فنزلت فرقة منهم وتفرقت بقية القوم
وفي رواية انتهى خالد إلى القوم فتلقوه ، فقال لهم ما أنتم أي : أمسلمون ؟ أم كفار ؟ قالوا : مسلمون قد صلينا وصدقنا بمحمد صلى الله عليه وسلم وبنينا المساجد في ساحتنا وأذنا فيها ، وفي لفظه لم يحسنوا أن يقولوا : أسلمنا ، فقالوا: صبأنا صبأنا ، قال فما بال السلاح عليكم ؟ قالوا : إن بيننا وبين قوم من العرب عداوة فخفنا أن تكونوا هم فأخذنا السلاح ، قال : فضعوا السلاح فوضعوا، فقال : استأسروا فأمر بعضهم فكتف بعضاً وفرقهم في أصحابه فلما كان السحر نادى منادي خالد : من كان معه أسير فليقتله ، فقتل بنو سليم من كان معهم  وامتنع المهاجرون والأنصار رضي الله عنهم ، وأرسلوا أسراهم فلما بلغ النبي صلى الله عليه وسلم ما فعل خالد ، قال : اللهم إني أبرأ إليك مما صنع خالد ، قال ذلك مرتين .
وقد يقال أن خالداً فهم أنهم قالوا ذلك على سبيل الأنفة وعدم الانقياد إلى الإسلام وإنما أنكر عليه صلى الله عليه وآله وسلم العجلة وعدم التثبت في أمرهم قبل أن يعلم المراد من قولهم صبأنا ، وقد قال عليه الصلاة والسلام نعم عبد الله أخو العشيرة خالد بن الوليد سيف من سيوف الله سله الله على الكافرين والمنافقين .
وكذلك قصة أسامة بن زيد حب رسول الله وابن حبه فيما رواه عنه البخاري عن أبي ظبيان قال : سمعت أسامة بن زيد يقول : بعثنا رسول الله صلى الله عليه وسلم إلى الحرقة ، فصبحنا القوم فهزمناهم ولحقت أنا ورجل من الأنصار رجلاً منهم ، فلما غشيناه قال : لا إله إلا الله ، فكف الأنصاري عنه وطعنته  برمحي حتى قتلته ، فلما قدمنا بلغ النبي صلى الله عليه وآله وسلم  ، فقال :  يا أسامة ! أقتلته بعدما قال : لا إله إلا الله ، قلت : كان متعوذاً ، فما زال يكررها حتى تمنيت أني لم أكن أسلمت ذلك اليوم ، وفي رواية أخرى أن رسول     الله صلى الله عليه وسلم قال له : ألا شققت على قلبه ، فتعلم أصادق أم كاذب  قال أسامة : لا أقاتل أحداً يشهد أن لا إله إلا الله .
وقد سئل علي رضي الله عنه عن المخالفين له من الفرق أكفار هم ؟  قال : لا ، إنهم من الكفر فروا ، فقيل : أمنافقون هم ؟ فقال : لا ، إن المنافقين لا يذكرون الله إلا قليلاً ، وهؤلاء يذكرون الله كثيراً ، فقيل : أي شيء هم ؟  قال : قوم أصابتهم الفتنة فعموا وصمُّوا .

MEMAKI ORANG ISLAM ADALAH TINDAKAN FASIQ DAN MEMERANGINYA ADALAH TINDAKAN KUFUR

Ketahuilah bahwa membenci, memboikot dan berseberangan dengan kaum muslimin adalah haram, memaki orang Islam adalah tindakan fasiq dan memeranginya adalah tindakan kufur jika menilai tindakan tersebut adalah halal.

Kisah mengenai Khalid ibn Walid bersama pasukannya ketika menuju Bani Jadzimah untuk mengajak mereka masuk Islam cukup digunakan untuk menolak pemahaman harfiah (literal) dari judul di atas. Saat Khalid tiba di tempat mereka, mereka menyambutnya. Lalu Khalid mengeluarkan instruksi, “Peluklah agama Islam!”. “ Kami adalah kaum muslimin,” Jawab mereka. “ Letakkan senjata kalian dan turunlah.” Lanjut Khalid. “Tidak, demi Allah. Karena setelah senjata diletakkan pasti ada pembunuhan. Kami tidak bisa mempercayai kamu dan orang-orang yang bersama kamu.” Jawab mereka kembali. “Tidak ada perlindungan buat kalian kecuali jika kalian mau turun,” Kata Khalid. Akhirnya sebagian kaum menuruti perintah Khalid dan sisanya tercerai-berai.

Dalam riwayat lain redaksinya sebagai berikut : Ketika Khalid tiba bertemu mereka, mereka menyambutnya. Lalu Khalid bertanya, “Siapakah kalian? Apakah kaum muslimin atau kaum kafir?”. “Kami adalah kaum muslimin yang menjalankan sholat, membenarkan Muhammad, membangun masjid di tanah lapang kami dan mengumandangkan adzan di dalamnya.” Jawab mereka. Dalam lafadz hadits, mereka tidak bisa mengucapkan Aslamnaa (Kami berserah diri), akhirnya mereka mengatakan Shoba’naa. Shoba’naa. “ Buat apa senjata yang kalian bawa?, tanya Khalid. “Ada permusuhan antara kami dan sebuah kaum Arab. Oleh karena itu kami khawatir kalian adalah mereka hingga kami pun membawa senjata.” Jawab mereka. “ Letakkan senjata kalian!” Perintah Khalid. Mereka pun mengikuti perintah Khalid untuk meletakkan senjata. “Menyerahlah kalian semua sebagai tawanan!” Lanjut Khalid. Kemudian Khalid menyuruh sebagian dari kaum untuk mengikat sebagian yang lain dan membagikan mereka kepada pasukannya.

Ketika tiba waktu pagi, juru bicara Khalid berteriak : “Siapapun yang memiliki tawanan bunuhlah ia!”. Maka Banu Sulaim membunuh tawanan mereka. Namun kaum Muhajirin dan Anshor menolak perintah ini. Mereka malah melepaskan para tawanan. Ketika tindakan Khalid ini sampai kepada Nabi Shollallohu ‘alaihi wa sallam, beliau berkata, “ Ya Allah, saya tidak bertanggung jawab atas tindakan Khalid.” Beliau mengulang ucapan ini dua kali.

Ada pendapat yang menyatakan bahwa Khalid mengira mereka mengatakan Shoba’naa dengan angkuh dan menolak tunduk kepada Islam. Hanya saja yang disesalkan Rasulullah adalah ketergesa-gesaan dan ketidak hati-hatiannya dalam menangani kasus ini sebelum mengetahui terlebih dulu apa yang dimaksud dengan  Shoba’naa. Nabi Shollallohu ‘alaihi wa sallam sendiri pernah mengatakan :

 Sebaik-baik hamba Allah adalah saudara kabilah Quraisy ; Khalid ibn Walid, salah satu pedang Allah yang terhunus untuk menghancurkan orang-orang kafir dan munafik”.

Persis seperti apa yang dialami Khalid adalah peristiwa yang menimpa Usamah ibn Zaid kekasih dan putra kekasih Rasulullah Shollallohu ‘alaihi wa sallam berdasarkan hadits yang diriwayatkan Al-Bukhari dari Abi Dzibyan. Abi Dzibyan berkata, “Saya mendengar Usamah ibn Zaid berkata, “Rasulullah Shollallohu ‘alaihi wa sallam mengirim kami ke desa Al-Huraqah. Kemudian kami menyerang mereka di waktu pagi dan berhasil mengalahkan mereka. Saya dan seorang laki-laki Anshar mengejar seorang laki-laki Bani Dzibyan.

Ketika kami berdua telah mengepungnya tiba-tiba ia berkata, “La Ilaaha illallah”. Ucapan laki-laki ini membuat temanku orang Anshor mengurungkan niat untuk membunuhnya namun saya menikamnya dan diapun mati. Ketika kami tiba kembali di Madinah, Nabi Shollallohu ‘alaihi wa sallam telah mendengar informasi tentang tindakan pembunuhan yang saya lakukan. Beliau pun berkata, “ Wahai Usamah! Mengapa engkau membunuhnya setelah dia mengatakan Laa Ilaaha illallah?!” “Dia hanya berpura-pura,” Jawabku. Nabi mengucapkan pertanyaannya berulang-ulang sampai-sampai saya berharap baru masuk Islam pada hari tersebut.

Dalam riwayat lain disebutkan bahwa Rasulullah Shollallohu ‘alaihi wa sallam berkata kepada Usamah, “Mengapa tidak engkau robek saja hatinya agar kamu tahu apakah dia sungguh-sungguh atau berpura-pura?”. “Saya tidak akan pernah lagi membunuh siapapun yang bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain Allah”. Kata Usamah.

Sayyidina Ali ra. pernah ditanya mengenai kelompok-kelompok yang menentangnya, “Apakah mereka kafir ?”, “Tidak,” jawab Ali, “Mereka adalah orang-orang yang menjauhi kekufuran”. “Apakah mereka kaum munafik?”. “Bukan, orang-orang munafik hanya sekelebat mengingat Allah sedang mereka banyak mengingat Allah”. “Terus siapakah mereka?” Ali kembali ditanya. “Mereka adalah kaum yang terkena fitnah yang mengakibatkan mereka buta dan tuli”, jawab Ali. Wallohu a’lam bish-Showab

Sabtu, 26 November 2011

BENARKAH DZIKIR BERJAMA’AH ITU BID'AH ?




Dzikir berjama’ah menurut al-Qur’an dan as-Sunnah

وَاصْبِرْ نَفْسَكَ مَعَ الَّذِينَ يَدْعُونَ رَبَّهُمْ بِالْغَدَاةِ وَالْعَشِيِّ يُرِيدُونَ وَجْهَهُ وَلاَ تــَـعْدُ عَيْنَاكَ عَنْهُمْ

“Dan bersabarlah kamu bersama-sama dengan orang-orang yang menyeru Tuhannya di pagi dan senja hari dengan mengharap keridaan-Nya; dan janganlah kedua matamu berpaling dari mereka (karena) mengharapkan perhiasan kehidupan dunia ini; dan janganlah kamu mengikuti orang yang hatinya telah Kami lalaikan dari mengingati Kami, serta menuruti hawa nafsunya dan adalah keadaannya itu melewati batas.” [QS. Al-Kahfi: 28]

Tafsir Ibnu Katsir menjelaskan sbb:

وقوله "واصبر نفسك مع الذين يدعون ربهم بالغداة والعشي يريدون وجهه" أي اجلس مع الذين يذكرون الله ويهللونه ويحمدونه ويسبحونه ويكبرونه ويسألونه بكرة وعشيًا من عباد الله سواء كانوا فقراء أو أغنياء أو أقوياء أو ضعفاء يقال إنها نزلت في أشراف قريش حين طلبوا من النبي صلى الله عليه وسلم أن يجلس معهم وحده ولا يجالسهم بضعفاء أصحابه كبلال وعمار وصهيب وخباب وابن مسعود وليفرد أولئك بمجلس على حدة فنهاه الله عن ذلك

Firman Alloh: “Dan bersabarlah kamu bersama-sama dengan orang-orang yang menyeru Tuhannya di pagi dan senja hari dengan mengharap keridaan-Nya” yakni duduk bersama org yg berdzikir, bertahlil, bertahmid bertasbih, bertakbir dan bermohon kpd Alloh di waktu pagi dan sore dari hamba Alloh baik yg fakir atau kaya, yg kuat atau yg lemah. Dikatakan sesungguhnya ayat ini turun berkenaan dgn pembesar2 Quraisy yg menghendaki agar Nabi Shollallohu ‘alaihi wa sallam duduk bersama mereka saja dan tdk duduk bersama mereka org2 yg lemah dari para sahabat seperti Bilal bin Rabah, Ammar bin Yasir, Suhaib, Khabbab dan Ibnu Mas’ud. Dan agar supaya mereka dibuatkan majlis khusus [tdk bercampur dgn mereka pembesar Quraisy-pent], maka Alloh melarang perbuatan itu.

وأخرج ابن جرير والطبراني وابن مردويه، عن عبد الرحمن بن سهل بن حنيف قال‏:‏ نزلت على رسول الله صلى الله عليه وسلم وهو في بعض أبياته ‏{‏واصبر نفسك مع الذين يدعون ربهم بالغداة والعشي‏}‏ فخرج يلتمسهم فوجد قوما يذكرون الله، فيهم ثائر الرأس وجاف الجلد وذو الثوب الواحد، فلما رآهم جلس معهم وقال‏:‏ ‏"‏الحمد لله الذي جعل في أمتي من أمري أن أصبر نفسي معهم‏"‏‏.‏
وأخرج البزار عن بي هريرة وأبي سعيد قالا‏:‏ جاء رسول الله صلى الله عليه وسلم رجل يقرأ سورة الحجر وسورة الكهف، فسكت فقال رسول الله صلى الله عليه وسلم‏:‏ ‏"‏هذا المجلس الذي أمرت أن أصبر نفسي معهم‏"‏‏.‏

Dari ‘Abd al-Rahman bin Sahl bin Hanif, ia berkata: Pada suatu saat, ketika Rasulullah Shollallohu ‘alaihi wa sallam berada di salah satu rumahnya, turunlah ayat kepada beliau, yang ertinya: “Dan bersabarlah kamu bersama orang-orang yang menyeru Tuhannya pada pagi dan senja hari dengan mengharap keredhaan-Nya.” (Surah al-Kahfi: 28), Maka setelah menerima wahyu itu, Rasulullah Shollallohu ‘alaihi wa sallam keluar untuk mencari orang-orang yang dimaksudkan dalam ayat tersebut. Kemudian beliau menjumpai sekelompok orang yang sedang sibuk berzikir. Di anatara mereka ada yang rambutnya tidak teratur dan kulitnya kering, dan ada yang hanya memakai sehelai kain. Ketika Rasulullah s.a.w. melihat mereka, beliau pun duduk bersama mereka dan bersabda, yang artinya: “Segala puji bagi Allah, yang telah menciptakan di antara umatku orang-orang yang mernyebabkan aku diperintahkan duduk bersama mereka.” (HR. Thabrani, Ibn Jarir dan Ibn Mardawaih)
Dari Abu Hurairah ra. dan Abi Sa’id ra. berkata, Rosululloh Shollallohu ‘alaihi wa sallam datang disaat seorang laki-laki membaca surat Al-Hijr dan Al-Kahfi. Maka Rosululloh terdiam lalu bersabda, “Inilah majelis yg aku diperintahkan agar bersabar berkumpul bersama mereka [majelis dzikir-pent].” [HR. Al-Bazzar]

- (2675) حَدَّثَنَا قُتَيْبَةُ بْنُ سَعِيدٍ، وَزُهَيْرُ بْنُ حَرْبٍ - وَاللَّفْظُ لِقُتَيْبَةَ - قَالَا: حَدَّثَنَا جَرِيرٌ، عَنِ الْأَعْمَشِ، عَنْ أَبِي صَالِحٍ، عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: يَقُولُ اللهُ عَزَّ وَجَلَّ: «أَنَا عِنْدَ ظَنِّ عَبْدِي بِي، وَأَنَا مَعَهُ حِينَ يَذْكُرُنِي، إِنْ ذَكَرَنِي فِي نَفْسِهِ، ذَكَرْتُهُ فِي نَفْسِي، وَإِنْ ذَكَرَنِي فِي مَلَإٍ، ذَكَرْتُهُ فِي مَلَإٍ هُمْ خَيْرٌ مِنْهُمْ، وَإِنْ تَقَرَّبَ مِنِّي شِبْرًا، تَقَرَّبْتُ إِلَيْهِ ذِرَاعًا، وَإِنْ تَقَرَّبَ إِلَيَّ ذِرَاعًا، تَقَرَّبْتُ مِنْهُ بَاعًا، وَإِنْ أَتَانِي يَمْشِي أَتَيْتُهُ هَرْوَلَةً» [روه مسلم]

.........Dari Abu Hurairah ra., ia berkata: Rasulullah saw. bersabda: Allah Taala berfirman: Aku sesuai dengan persangkaan hamba-Ku terhadap-Ku dan Aku selalu bersamanya ketika dia mengingat-Ku. Apabila dia mengingat-Ku dalam dirinya, maka Aku pun akan mengingatnya dalam diri-Ku. Apabila dia mengingat-Ku dalam suatu jema’ah manusia, maka Aku pun akan mengingatnya dalam suatu kumpulan makhluk yang lebih baik dari mereka. Apabila dia mendekati-Ku sejengkal, maka Aku akan mendekatinya sehasta. Apabila dia mendekati-Ku sehasta, maka Aku akan mendekatinya sedepa. Dan apabila dia datang kepada-Ku dengan berjalan, maka Aku akan datang kepadanya dengan berlari. (HR. Muslim (2675/4832)

وعن أبي هريرة قال قَالَ رَسُوْل اللهِ صَلًَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمََ: إن لله ملائكة يطوفون في الطرق يلتمسون أهل الذكر فإذا وجدوا قوما يذكرون الله عز وجل تنادوا هلموا إلى حاجتكم قال فيحفونهم بأجنحتهم إلى السماء الدنيا قال فيسألهم ربهم وهو أعلم منهم ما يقول عبادي قال يقولون يسبحونك ويكبرونك ويحمدونك ويمجدونك قال فيقول عز وجل هل رأوني قال فيقولون لا والله ما رأوك قال فيقول كيف لو رأوني قال يقولون لو رأوك كانوا أشد لك عبادة وأشد لك تمجيدا وأكثر لك تسبيحا قال فيقول فما يسألوني قال يسألونك الجنة قال يقول وهل رأوها قال فيقولون لا والله يا رب ما رأوها قال يقول فكيف لو رأوها قال يقولون كانوا أشد عليها حرصا وأشد لها طلبا وأعظم فيها رغبة قال فمم يتعوذون قال يقولون من النار قال يقول وهل رأوها قال فيقولون لا والله يا رب ما رأوها قال يقول فكيف لو رأوها قال يقولون كانوا أشد منها فرارا وأشد لها مخافة قال فيقول فأشهدكم أني قد غفرت لهم قال يقول ملك من الملائكة فيهم فلان ليس منهم إنما جاء لحاجة قال فيقول الله تعالى هم الجلساء لا يشقى زبهم جليسهم. [رواه البخاري ومسلم والترمذي]

Dari Abu Hurairah r.a., ia berkata, Rasulullah Shollallohu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Allah mempunyai malaikat yang berterbangan di seluruh pelusuk bumi untuk mencari dan menulis amal baik manusia. Apabila mereka menjumpai sekumpulan manusia berzikir kepada Allah lalu mereka menyeru sesama mereka: “Marilah ke sini, kita telah menemui apa yang kita cari.” Lantas mereka datang berduyun-duyun sambil menghamparkan sayap menaungi orang-orang yang sedang berdzikir itu.
Selepas itu lalu Allah bertanya kepada para malaikat, “Apakah yang sedang dilakukan hamba-hamba-Ku itu ketika kamu meninggalkan mereka?” Malaikat menjawab, “Mereka di dalam keadaan memuji, mengagungkan dan bertasbih kepada-Mu wahai Allah.” Allah bertanya lagi, “Adakah mereka itu pernah melihat-Ku?” Jawab malaikat, “Tidak pernah!” Allah terus bertanya, “Bagaimana sekiranya mereka melihatKu?” Jawab malaikat, “Jika mereka melihat-Mu, nescaya akan bersangatanlah mereka mengagungkan, bertasbih dan bertahmid kepada-Mu ya Allah.”
Allah bertanya lagi, “Mereka memohon perlindungan-Ku daripada apa?” Malaikat menjawab, “Daripada neraka.” Allah bertanya, “Adakah mereka pernah melihat neraka?” Jawab malaikat, “Tidak pernah!” Allah bertanya, “Bagaimana sekiranya mereka dapat melihat neraka?” Malaikat menjawab, “Mereka akan lari sejauh-jauhnya dari neraka kerana ketakutan.” Allah bertanya, “Apakah permintaan mereka?” Malaikat menjawab, “Mereka meminta daripadaMu syurga.” Allah bertanya, “Adakah mereka pernah melihat syurga?” Jawab malaikat, “Tidak pernah.” Allah bertanya, “Bagaimana sekiranya mereka dapat melihat syurga?” Malaikat menjawab, “Mereka sangat haloba untuk memperolehinya,” Lalu Allah berkata, “Sesungguhnya aku bersaksi, bahawa aku telah mengampunkan mereka.”
Para malaikat bertanya pula, “Wahai Allah! Seseorang telah datang ke dalam kumpulan ini dan dia tidak bercita-cita untuk menjadi sebahagian daripada mereka.” Allah menjawab, “Mereka ini adalah segolongan manusia yang tidak menyakiti orang yang menyertai mereka.” (HR. Bukhari, Muslim dan Tirmidzi)

- (3375) -  - حَدَّثَنَا أَبُو كُرَيْبٍ قَالَ: حَدَّثَنَا زَيْدُ بْنُ حُبَابٍ، عَنْ مُعَاوِيَةَ بْنِ صَالِحٍ، عَنْ عَمْرِو بْنِ قَيْسٍ، عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ بُسْرٍ، أَنَّ رَجُلًا قَالَ: يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّ شَرَائِعَ الإِسْلَامِ قَدْ كَثُرَتْ عَلَيَّ، فَأَخْبِرْنِي بِشَيْءٍ أَتَشَبَّثُ بِهِ، قَالَ: «لَا يَزَالُ لِسَانُكَ رَطْبًا مِنْ ذِكْرِ اللَّهِ» : «هَذَا حَدِيثٌ حَسَنٌ غَرِيبٌ مِنْ هَذَا الوَجْهِ» [روه الترمذى] [حكم الألباني] : صحيح

......Dari Abdulloh bin Yasar ra.  Sesungguhnya seorang lelaki berkata: Ya Rosulalloh, sesungguhnya syaria’at islam sungguh sangatlah banyak menurutku, maka kabarkanlah kepadaku sesuatu yg simpel. Rosul bersabda, “Basahilah selalu lisanmu dgn berdzikir kpd Alloh.” [HR. Tirmidzhi hadits hasan ghorib yg dishohihkan Al-Bani]

) -3378 (- حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ بَشَّارٍ قَالَ: حَدَّثَنَا عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ مَهْدِيٍّ قَالَ: حَدَّثَنَا سُفْيَانُ، عَنْ أَبِي إِسْحَاقَ، عَنْ الأَغَرِّ أَبِي مُسْلِمٍ، أَنَّهُ شَهِدَ عَلَى أَبِي هُرَيْرَةَ، وَأَبِي سَعِيدٍ الخُدْرِيِّ، أَنَّهُمَا شَهِدَا عَلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُ قَالَ: «مَا مِنْ قَوْمٍ يَذْكُرُونَ اللَّهَ إِلَّا حَفَّتْ بِهِمُ المَلَائِكَةُ، وَغَشِيَتْهُمُ الرَّحْمَةُ، وَنَزَلَتْ عَلَيْهِمُ السَّكِينَةُ، وَذَكَرَهُمُ اللَّهُ فِيمَنْ عِنْدَهُ» . حَدَّثَنَا يُوسُفُ بْنُ يَعْقُوبَ قَالَ: حَدَّثَنَا حَفْصُ بْنُ عُمَرَ قَالَ: حَدَّثَنَا شُعْبَةُ، عَنْ أَبِي إِسْحَاقَ، قَالَ: سَمِعْتُ الأَغَرَّ أَبَا مُسْلِمٍ، قَالَ: أَشْهَدُ عَلَى أَبِي سَعِيدٍ، وَأَبِي هُرَيْرَةَ، أَنَّهُمَا شَهِدَا عَلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَذَكَرَ مِثْلَهُ. هَذَا حَدِيثٌ حَسَنٌ صَحِيحٌ [روه الترمذى] [حكم الألباني] :  صحيح

.......Dari Abu Hurairah ra dan Abu Sa’id Al-Khudzri ra. Sesungguhnya keduanya bersaksi atas sabda Rosululloh Shollallohu ‘alaihi wa sallam, sesungguhnya beliau bersabda, “Tidaklah duduk sekelompok org yg berdzikir kpd Alloh kecuali mereka dikelilingi oleh para malaikat, dianegerahi rohmat. Diberikan ketenteraman serta senantiasa diingat [diperhatikan dan dibanggakan-pent] oleh Alloh dihadapan para malaikat-Nya.”............. [HR. Muslim dan Tirmidzi hadits hasan shohih dan dishohihkan Al-Bani]

Dzikir dgn suara jahr [keras] menurut al-Qur’an, Hadits dan  para ulama

وَاذْكُرْ رَبَّكَ فِي نَفْسِكَ تَضَرُّعًا وَخِيفَةً وَدُونَ الْجَهْرِ مِنَ الْقَوْلِ بِالْغُدُوِّ وَالآصَالِ وَلا تَكُنْ مِنَ الْغَافِلِينَ

“Dan sebutlah (nama) Tuhanmu dalam hatimu dengan merendahkan diri dan rasa takut, dan dengan tidak mengeraskan suara, di waktu pagi dan petang, dan janganlah kamu termasuk orang-orang yang lalai.” [QS. Al.A’raaf: 205]

قُلِ ادْعُوا اللَّهَ أَوِ ادْعُوا الرَّحْمَنَ أَيًّا مَا تَدْعُوا فَلَهُ الأسْمَاءُ الْحُسْنَى وَلا تَجْهَرْ بِصَلاتِكَ وَلا تُخَافِتْ بِهَا وَابْتَغِ بَيْنَ ذَلِكَ سَبِيلا

“Katakanlah: "Serulah Allah atau serulah Ar-Rahman. Dengan nama yang mana saja kamu seru, Dia mempunyai al asmaaulhusna (nama-nama yang terbaik) dan janganlah kamu mengeraskan suaramu dalam shalatmu dan janganlah pula merendahkannya dan carilah jalan tengah di antara kedua itu" [QS. Al-Israa’: 110]

Tafsir Jalalain menjelaskan [QS. Al.A’raaf: 205] sbb:

(واذكر ربك في نفسك) أي سراً (تضرعاً) تذللاً (وخيفةً) خوفاً منه (و) فوق السر (دون الجهر من القول) أي قصداً بينهما (بالغدو والآصال) أوائل النهار وأواخره (ولا تكن من الغافلين) عن ذكر الله

(Dan sebutlah (nama) Tuhanmu dalam hatimu) yakni sirr (dengan merendahkan diri) merendah (dan rasa takut) takut dari siksa-Nya (dan) diatas sirr [suara lirih] (tidak mengeraskan suara) yakni antara pelan dan keras [sedang] (di waktu pagi dan petang) pagi dan sore hari (dan janganlah pula merendahkannya dan carilah jalan tengah di antara kedua itu) dari mengingat Alloh [berdzikir].

Tafsir Ibnu Katsir menjelaskan [QS. Al-Israa’: 110] sbb:

وقوله "ولا تجهر بصلاتك" الآية. قال الإمام أحمد حدثنا هشيم حدثنا أبو بشر عن سعيد بن جبير عن ابن عباس قال نزلت هذه الآية ورسول الله صلى الله عليه وسلم متوار بمكة "ولا تجهر بصلاتك ولا تخافت بها" قال كان إذا صلى بأصحابه رفع صوته بالقرآن فلما سمع ذلك المشركون سبوا القرآن وسبوا من أنزله ومن جاء به قال: فقال الله تعالى لنبيه صلى الله عليه وسلم "ولا تجهر بصلاتك" أي بقراءتك فيسمع المشركون فيسبون القرآن "ولا تخافت بها" عن أصحابك فلا تسمعهم القرآن حتى يأخذوه عنك "وابتغ بين ذلك سبيلا" أخرجاه في الصحيحين

Dan firman Alloh, “dan janganlah kamu mengeraskan suaramu dalam shalatmu” Imam Ahmad berkata, Hasyim dan Abu Basyar berkata kepadaku dari Sa’id bin Jabir dari Ibnu Abbas ra. berkata, “Turun ini ayat sewaktu Rosululloh Shollallohu ‘alaihi wa sallam berada di Makkah. “dan janganlah kamu mengeraskan suaramu dalam shalatmu dan janganlah pula merendahkannya,” Ibnu Abbas berkata, “ Adalah ketika Rosululloh Shollallohu ‘alaihi wa sallam sholat bersama sahabatnya mengeraskan suaranya dalam membaca ayat al-Qur’an. Maka ketika hal itu didengar org2 musyrik mereka mencaci al-Qur’an, mencaci org yg diturunkan al-Qur’an [Nabi], dan yg menurunkannya [Alloh]. Ibnu Abbas berkata, “ Maka Alloh berfirman kpd Nabi-Nya Shollallohu ‘alaihi wa sallam “dan janganlah kamu mengeraskan suaramu dalam shalatmu” yakni bacaan al-Quranmu didengar org2 musyrik dan mereka mencacinya. “dan janganlah pula merendahkannya” dari sahabat2mu sehingga mereka tdk mendengar bacaan al-Quran sehingga mereka bisa mengambil pelajaran darimu. “dan carilah jalan tengah di antara kedua itu" [ suara sedang-pent] [HR. Bukhari Muslim]

اختلف الفقهاء في رفع الصوت بالذكر بعد الصلاة ، فمنهم من ذهب إلى أنه سنة ، ومنهم من كره ذلك وقال : إن النبي صلى الله عليه وسلم لم يداوم عليه وإنما فعله للتعليم ثم تركه .
عن أبي معبد مولى ابن عباس أن ابن عباس رضي الله عنهما أخبره أن رفع الصوت بالذكر حين ينصرف الناس من المكتوبة كان على عهد النبي صلى الله عليه وسلم ، وقال ابن عباس : كنت أعلم إذا انصرفوا بذلك إذا سمعته . رواه البخاري ( 805 ) ومسلم ( 583 )

Ulama fikih berbeda pendapat tentang mengeraskan suara berdzikir selapas sholat. Sebagian mereka ada yg menganggap itu sunnah, dan sebagian memakruhkan hal itu dgn perkataan, “Sesungguhnya Nabi Shollallohu ‘alaihi wa salllam tdk melakukannya terus menerus, sesungguhnya Rosul melakukannya hanya unt mengajari dan kemudian meninggalkannya.
Dari Ma’bad majikan Ibnu Abbas sesungguhnya Ibnu Abbas ra.. mengabarkan keduanya tentang mengeraskan suara dgn dzikir selepas org2 selesai sholat maktubah [sholat lima waktu] sudah ada semasa Nabi Shollallohu ‘alaihi wa sallam. Dan Ibnu Abbas ra berkata, “Aku lebih mengetahui ketika mereka selesai sholat sehingga aku mendengarnya.” [HR. Bukhari (805) Muslim (583)]

فممن ذهب إلى رفع الصوت بالذكر بعد الصلاة : الطبري وابن حزم وشيخ الإسلام وغيرهم .وممن ذهب إلى أن ذلك كان للتعليم : الشافعي والجمهور .
قال الشافعي رحمه الله : " وأختار للإمام والمأموم أن يذكر الله بعد الانصراف من الصلاة ، ويخفيان الذكر إلا أن يكون إماماً يجب أن يُتعلم منه فيجهر حتى يرى أنه قد تُعلم منه ، ثم يسر ؛ فإن الله عز وجل يقول ( ولا تجهر بصلاتك ولا تخافت بها ) يعنى – والله تعالى أعلم - : الدعاء ، ( ولا تجهر ) ترفع ، ( ولا تخافت ) حتى لا تُسمع نفسك .
وذكرتْ أم سلمة مكثه ولم تذكر جهراً ، وأحسبه لم يمكث إلا ليذكر ذكراً غير جهر " انتهى من "الأم" (1 /127) .
وقال ابن حزم رحمه الله : " ورفع الصوت بالتكبير إثر كل صلاة حسن " انتهى من "المحلى" (3 /180) .

Diantara ulama yg sepakat dgn mengeraskan suara dlm berdzikir selesai sholat adalah Ath-Thobari, Ibnu Hazm, Syaikhul islam Ibnu Taimiyah dan yg lainnya. Dan ulama yg sepakat bhw suara keras itu hanya unt mengajarkan adalah Imam Syafi’i dan jumhur ulama.
Imam Syafi’i berkata rohimahulloh: Dan yg terpilih untuk imam dan makmum adalah agar berdzikir kpd Alloh setelah selesai sholat, dan merendahkan suara dlm berdzikir kecuali imam ingin agar diketahui [diikuti makmum] maka mengeraskannya sehingga diketahui apa yg telah diajarkan, kemudian tdk memperdengarkannya. Karena sesungguhnya Alloh ‘Azza wa Jalla berfirman (dan janganlah kamu mengeraskan suaramu dalam shalatmu dan janganlah pula merendahkannya) yakni Alloh Ta’ala lbh mengetahui do’a (dan janganlah kamu mengeraskan) meninggikan suara (dan janganlah pula merendahkannya) sehingga dirimu sendiri tdk mendengar.

Ummu Salamah menyebutkan bhw Rosul berdiam dan tdk berdzikir dgn suara keras, dan menyangkanya Rosul tdk diam [bersuara] kecuali unt memperingatkan bahwa dzikir itu tdk dgn suara keras. [Al-Uum 1/127]

Ibnu Hazm rohimahulloh berkata, “Mengeraskan suara kalimat takbir selesai sholat adalah perbuatan baik [Al-Mahalli 3/180]

ونقل البهوتي في "كشاف القناع" (1/366) عن شيخ الإسلام ابن تيمية استحباب الجهر : " ( قال الشيخ [أي ابن تيمية] : ويستحب الجهر بالتسبيح والتحميد والتكبير عقب كل صلاة " .
وسئل الشيخ محمد بن صالح العثيمين رحمه الله عن حكم المسألة فأجاب :

" الجهر بالذكر بعد الصلوات المكتوبة سنة ، دل عليها ما رواه الإمام أحمد وأبو داود . وفي الصحيحين من حديث المغيرة بن شعبة رضي الله عنه قال : سمعت النبي صلى الله عليه وسلم يقول إذا قضى الصلاة : ( لا إله إلا الله وحده لا شريك له ..) الحديث . ولا يُسمع القول إلا إذا جهر به القائل .
وقد اختار الجهر بذلك شيخ الإسلام ابن تيمية رحمه الله وجماعة من السلف والخلف ، لحديثي ابن عباس ، والمغيرة رضي الله عنهم . والجهر عام في كل ذكر مشروع بعد الصلاة سواء كان تهليلا ، أو تسبيحا ، أو تكبيرا ، أو تحميدا لعموم حديث ابن عباس ، ولم يرد عن النبي صلى الله عليه وسلم التفريق بين التهليل وغيره بل جاء في حديث ابن عباس أنهم يعرفون انقضاء صلاة النبي صلى الله عليه وسلم بالتكبير ، وبهذا يُعرف الرد على من قال لا جهر في التسبيح والتحميد والتكبير .

Al-Bahuti mengatakan dlm “Kasyaf Al-Qana’” (1/366) dari Syeikhul Islam Ibnu Taimiyah menyukai dzikir jahr...” Syeikh Ibnu Taimiyah berkata, “Dan disukai bersuara kera dlm bertasbih, bertahmid dan bertakbir selesai sholat.”
Syeikh Muhammad bin Sholih Al-Utsaimin ditanya tentang hukum suatu pertanyaan [tentang dzikir] maka menjawabnya: “Dzikir dgn suara keras selepas sholat maktubah hukumnya sunnah, petunjuk akan kesunnahannya adalah hadits yg diriwayatkan Imam Ahmad dan Abu Daud dalam hadits shohihnya dari hadits Al-Mughiroh bin Syu’bah ra. berkata: Aku mendengar dari Nabi Shollallohu ‘alaihi wa sallam bersabda ketika selesai sholat (Laa ilaaha illalloh wahdahu laa syarika lah) Al-Hadits. Dan tdk bisa didengar itu ucapan kecuali ketika dikeraskan suara org yg mengucapkannya.”
Dan sungguh telah memilih dgn suara keras Syeikhul Islam Ibnu Taimiyah rohimahulloh dan jama’ah ulama’ salaf dan kholaf, karena hadits Ibnu Abbas ra. dari Al-Mughiroh bin Syu’bah ra. Dan suara keras dlm berdzikir yg disyari’atkan itu bersifat umum sesudah sholat [wajib atau sunnat] sama saja itu tahlil, tasbih, takbiratau tahmid unt keumuman hadits dari Ibnu Abbas ra. yg tdk  tertolak dari hadits Nabi Shollallohu ‘alaihi wa sallam dgn membedakan antara tahlil dan yg lainnya, tetapi telah datang hadits dari Ibnu Abbas ra. sesungguhnya mereka [sahabat] mengetahui selesainya sholat Nabi Shollallohu ‘alaihi wa sallam dgn kalimat takbir, dan dgn ini diketahui penolakan terhadap org yg mengatakan bhw tasbih, tahmid dan takbir tdk dgn suara keras.

وقال رحمه الله : " فالمهم أن القول الراجح : أنه يسن الذكر أدبار الصلوات على الوجه المشروع ، وأنه يسن الجهر به أيضا - أعني رفع الصوت - ولا يكون رفعا مزعجا فإن هذا لا ينبغي ، ولهذا لما رفع الناس أصواتهم بالذكر في عهد الرسول عليه الصلاة والسلام في قفولهم من خيبر قال : ( أيها الناس ، أربعوا على أنفسكم ) ، فالمقصود بالرفع ، الرفع الذي لا يكون فيه مشقة وإزعاج " انتهى من "مجموع فتاوى الشيخ ابن عثيمين" (13/247، 261)

Maka Syeikh Muhammad bin Sholih Al-Utsaimin rohimahulloh berkata: “Maka sesungguhnya qaul [hujjah] yg rojih [kuat dan terpilih] adalah disunnahkan berdzikir selepas sholat lima waktu sesuai yg disyari’atkan, dan jg disunnahkan mengeraskannya, -aku maksudkan mengangkat suara [sedang]- dan tdk dgn suara yg terlalu keras itu tdk baik, karena hal ini ketika org2 mengeraskan suara dlm berdzikir dimasa Rosululloh Shollallohu ‘alaihi wa sallam waktu perjumpaan mereka di bukit khoibar Nabi bersabda, “Wahai manusia, pelankanlah [tahanlah] diri kalian.” Maka yg dimaksud [tidak] dgn suara keras, mengeraskan suara yg tdk diperlukan krn tdk ada halangan. [Majmu’ Fatawa Asy-Syaikh Ibnu Utsaimin 13/247-261]. Wallohu a’lam bish-Showab


Sabtu, 29 Oktober 2011

BENARKAH SYAIKH ABU AL-HASAN AL-ASY’ARI MU’TAZILAH ?



BENARKAH SYAIKH ABU AL-HASAN AL-ASY’ARI MU’TAZILAH ?

Asy’ariyyah adalah sebutan bagi sebuah faham atau ajaran aqidah yang dinisbatkan kepada Syaikh Abul-Hasan Ali al-Asy’ari (Lahir dan wafat di Basrah tahun 260 H- 324 H.). Para pengikutnya sering disebut dengan Asy’ariyyuun atauAsyaa’irah (pengikut mazhab al-Asy’ari). Abul-Hasan Ali Al-Asy’ari, yang kemudian dikenal sebagai pelopor aqidah Ahlus-Sunnah wal Jama’ah, memiliki garis keturunan (garis ke-10) dari seorang Sahabat Rasulullah Saw. yang terkenal keindahan suaranya dalam membaca al-Qur’an, yaitu Abu Musa al-Asy’ari. Beliau lahir 55 tahun setelah wafatnya al-Imam Syafi’I, dan Abul-Hasan al-Asy’ari adalah pengikut Mazhab Syafi’i.
Pada mulanya, beliau beraqidah Mu’tazilah karena berguru kepada seorang ulama Mu’tazilah yang bernama Muhammad bin Abdul Wahab al-Jubba’i (Wafat 295H.). Setelah menjadi pengikut Mu’tazilah selama + 40 tahun, beliau bertobat lalu mencetuskan semangat beraqidah berdasarkan Al-Qur’an dan Hadis sebagaimana yang diyakini oleh Nabi Saw. dan para Sahabat beliau, serta para ulama salaf (seperti Imam Malik, Imam Syafi’I, Imam Ahmad, dan lain-lainnya).
Dalam mengusung aqidah Ahlussunnah Wal-Jama’ah ini, terdapat pula seorang ulama yang sejalan dengan al-Asy’ari, yaitu Syaikh Abu Manshur al-Maturidi  (wafat di Samarkand Asia Tengah pada tahun 333 H). Meskipun paham atau ajaran yang mereka sampaikan itu sama atau hampir sama, namun al-Asy’ari lebih dikenal nama dan karyanya serta lebih banyak pengikutnya, sehingga para pengikut aqidah Ahlus-Sunnah wal Jama’ah lebih sering disebut dengan al-Asyaa’irah (pengikut al-Asy’ari) atau al-Asy’ariyyun.
Ahlus-Sunnah wal-jama’ah lahir sebagai reaksi dari penyebaran aqidah Mu’tazilah yang cenderung mengedepankan akal ketimbang al-Qur’an atau Hadis. Banyak keyakinan Mu’tazilah yang dianggap oleh al-Asy’ari menyimpang jauh dari dasarnya. Lebih buruknya, ketika Mu’tazilah sudah menjadi paham penguasa (masa Khalifah al-Ma’mun, al-Mu’tashim, & al-Watsiq dari Daulah Bani Abbasiyah), banyak ulama yang ditangkap dan dipaksa untuk meyakini paham tersebut. Di antara ulama yang ditangkap dan disiksa karena tidak mau mengakui paham Mu’tazilah itu adalah Imam Ahmad bin Hanbal.
Ajaran al-Asy’ari dan al-Maturidi (Ahlus-Sunnah wal-Jama’ah) ini kemudian berhasil meruntuhkan paham Mu’tazilah, dan umat Islam kembali mendasari aqidah mereka dengan al-Qur’an dan Hadis serta dalil-dalil ‘aqly (akal) sebagaimana dicontohkan oleh para salafush-shaleh.
Pada masa berikutnya, aqidah Ahlus-Sunnah wal-Jama’ah ini dianut dan disebarluaskan oleh ulama-ulama besar seperti Abu Bakar al-Qaffal (wafat 365 H.), Abu Ishaq al-Isfarayini (wafat 411 H.), al-Baihaqi (wafat 458 H.), Imam al-Haramain al-Juwaini (wafat 460 H.), al-Qusyairi (wafat 465 H.), al-Baqillani (wafat 403 H.), Imam al-Ghazali (wafat 505 H.), Fakhruddin ar-Razi (wafat 606 H.), ‘Izzuddin bin Abdus-Salam (wafat 660 H.), Abdullah asy-Syarqawi ( wafat 1227 H.), Ibrahim al-Bajuri (wafat 1272 H.), Syekh Muhammad Nawawi Banten (wafat 1315 H.), Zainal Abidin al-Fatani (Thailand), dan lain-lainnya.
Karya-karya tulis mereka banyak bertebaran dan dijadikan pegangan di seantero dunia Islam, sehingga aqidah Ahlus-Sunnah wal-Jama’ah itu menjadi paham para ulama dan umat Islam mayoritas di berbagai negeri seperti: Maroko, Aljazair, Tunisia, Libya, Turki, Mesir, sebagian Irak, India, sebagian Pakistan, Indonesia, Filipina, Thailand, Malaysia, Somalia, Sudan, Nigeria, Afghanistan, sebagian Libanon, Hadhramaut, sebagian Hijaz, sebagian Yaman, sebagian besar daerah Sovyet, dan Tiongkok. (Untuk lebih jelasnya, lihat “I’tiqad Ahlussunnah Wal-Jama’ah” karya KH. Siradjuddin Abbas, diterbitkan oleh Pustaka Tarbiyah Jakarta).
Para Ulama pengikut empat Mazhab (Hanafi, Maliki, Syafi’I, dan Hanbali) adalah penganut aqidah Ahlus-Sunnah wal-Jama’ah. Ajaran aqidah Ahlus-Sunnah wal-Jama’ah inilah yang dijadikan dasar oleh para ulama untuk membolehkan kebiasaan-kebiasaan baik seperti: Peringatan Maulid Nabi Muhammad Saw., Isra’ Mi’raj, tahlilan kematian, ziarah kubur, menghadiahkan pahala kepada orang meninggal, ziarah ke makam Rasulullah Saw. dan orang-orang shaleh, tawassul, dan lain sebagainya, yang secara substansial kesemuanya didasari dengan dalil-dalil yang kuat dari al-Qur’an dan Hadis serta Atsar para Sahabat Rasulullah Saw.
Belakangan, Asy’ariyyah sering dipisahkan penyebutannya dari Ahlussunnah Wal-jama’ah, hal seperti ini telah dilakukan oleh Ibnu Taimiyah di dalam pembahasan fatwa-fatwanya yang kemudian diikuti oleh para pengikutnya, yaitu kaum Salafi & Wahabi. Akan tetapi, antara pandangan Ibnu Taimiyah dan kaum Salafi & Wahabi di masa belakangan tentang Asy’ariyyah terdapat perbedaan. Ibnu Taimiyah berpandangan bahwa aqidah Ahlussunnah Wal-Jama’ahadalah aqidah para ulama salaf (yaitu para Shahabat Rasulullah Saw. dan para ulama yang hidup di 3 generasi pertama masa Islam + 300 H.), bukan monopoli sebuah kelompok saja seperti Asy’ariyyah. Artinya, Ibnu Taimiyah berpendapat bahwa para Shahabat Rasulullah Saw., para tabi’in, ulama madzhab yang empat, dan siapa saja yang berpedoman kepada al-Qur’an, as-Sunnah, serta ijma’ ulama salaf, adalah Ahlussunnah Wal-jama’ah (lihat Majmu’ Fatawa Ibni Taimiyah, Dar ‘Alam al-Kutub, juz 3, hal. 157).
Secara tidak langsung Ibnu Taimiyah masih mengakui Asy’ariyyah termasuk bagian dari Ahlussunnah Wal-Jama’ah terutama pada pendapat-pendapat yang ia anggap sejalan dengan prinsip al-Qur’an, as-Sunnah, dan ijma’ ulama salafSedangkan kaum Salafi & Wahabi belakangan lebih cenderung menganggap Asy’ariyyah sebagai aliran sesat yang bukan termasuk Ahlussunnah Wal-jama’ah.
Pembahasan-pembahasan Kaum Salafi & Wahabi ini kemudian mengarahkan umat untuk menganggap bahwaAsy’ariyyah hanyalah kelompok aliran ilmu kalam (ilmu pembicaraan) yang tidak ada hubungannya dengan namaAhlussunnah Wal-Jama’ah. Ilmu kalam mereka anggap sebagai hasil pembahasan-pembahasan keyakinan agama dengan logika yang didasari oleh pemikiran filsafat, dan dengan keadaan seperti itu ia banyak dikecam oleh para ulama salaf. Pertanyaannya, bagaimana mungkin kecaman para ulama salaf terhadap kelompok-kelompok ahli kalam diarahkan kepada Asy’ariyyah sedangkan para ulama salaf tersebut tidak pernah menjumpai Asy’ariyyah yang baru muncul setelah mereka wafat? Jika pun ada kecaman itu, maka sebenarnya yang mereka kecam adalah aliran-aliran aqidah atau ilmu kalam yang dianggap sesat dan sudah berkembang di saat itu, seperti: Qadariyyah, Jabbariyyah, Khawarij, Syi’ah, dan Mu’tazilah.
Pendek kata, Asy’ariyyah menurut kaum Salafi & Wahabi adalah bukan Ahlussunnah Wal-Jama’ah, melainkan aliranbid’ah yang harus dijauhi. Perhatikanlah fatwa-fatwa ulama Salafi & Wahabi berikut ini:
Syaikh Abdullah bin Abdurrahman al-Jibrin berkata:
“Kemudian muncul juga kelompok yang lain, dan mereka menyebut dirinya Asy’ariyah. Mereka mengingkari sebagian sifat Allah dan menetapkan sebagian yang lain. Mereka menetapkan sifat-sifat tersebut berdasar kepada akal. Maka tidak diragukan lagi bahwa hal itu merupakan bid’ah dan perkara baru dalam agama Islam”(Ensiklopedia Bid’ah, hal. 140).
Syaikh Muhammad bin Musa Alu Nashr berkata:
“Tetapi, apakah Asya’irah dan Maturidiyah itu Ahlussunnah, ataukah mereka termasuk Ahli Kalam? Hakikatnya, mereka ini termasuk Ahli Kalam. Mereka bukan termasuk Ahlussunnah, walaupun mereka ahlul-millah, ahli qiblah (umat Islam). Dikarenakan al-Asya’irah dan Maturidiyah itu menyelisihi Ahlussunnah Wal-Jama’ah” ( lihat Majalah As-Sunnah, edisi 01/tahun XII, April 208, hal. 35).
Ungkapan di atas adalah sebuah fitnah dan penipuan besar terhadap Asy’ariyyah, sebab tidak seorang pun dari ulama yang menyatakan hal seperti itu kecuali kaum Salafi & Wahabi.
Aqidah Ahlussunnah Wal-Jama’ah memang bukan hanya milik Asy’ariyyah atau Maturidiyyah saja. Siapa saja yang berpegang kepada al-Qur’an, Sunnah Rasulullah Saw., dan atsar para Shahabat beliau adalah termasukAhlussunnah Wal-Jama’ah, baik sebelum Asy’ariyyah muncul atau sesudahnya. Akan tetapi, aqidah (keyakinan) Ahlussunnah Wal-Jama’ah seperti itu belumlah tersusun secara rapi dan masih terpencar-pencar di masa ulama salaf, mengingat pada masa itu para ulama menghadapi cobaan berat dari penguasa yang beraqidah Mu’tazilah(lihat I’tiqad Ahlussunnah Wal-Jama’ah, KH. Siradjuddin Abbas, Pustaka Tarbiyah, Jakarta, hal. 16).
Barulah pada masa berikutnya, muncul Abul Hasan Al-Asy’ari yang menyusun aqidah Ahlussunnah Wal-Jama’ah sebagai sebuah perhatian khusus, dan beliau bekerja keras menyebarluaskannya di kalangan umat sebagai suatu rumusan yang rapi sekaligus sebagai bantahan-bantahan terhadap aliran Mu’tazilah. Dengan sebab itulah maka Abul Hasan al-Asy’ari dianggap sebagai pelopor atau pemimpin Ahlussunnah Wal-Jama’ah, dan para pengikutnya yang disebut Asya’irah secara otomatis termasuk Ahlussunnah Wal-Jama’ah. Perhatikanlah pernyataan para ulama berikut ini:
إِذَا أُطْلِقَ أَهْلُ السُّنَّةِ فَالْمُرَادُ بِهِ اْلأَشَاعِرَةُ وَالْمَاتُرِيْدِيَّةُ (إتحاف سادات المتقين، محمد الزبدي، ج. 2، ص. 6)
“Apabila disebut nama Ahlussunnah secara umum, maka maksudnya adalah Asya’irah (para pengikut faham Abul Hasan al-Asy’ari) dan Maturidiyah (para pengikut faham Abu Manshur al-Maturidi” (Ithaf Sadat al-Muttaqin,Muhammad Az-Zabidi, juz 2, hal. 6. Lihat I’tiqad Ahlussunnah Wal-Jama’ah, KH. Siradjuddin Abbas, hal. 17).
وأما حكمه على الإطلاق وهو الوجوب فمجمع عليه في جميع الملل وواضعه أبو الحسن الأشعري  وإليه تنسب أهل السنة حتى لقبوا بالأشاعرة (الفواكه الدواني، أحمد النفراوي المالكي، دار الفكر، بيروت، 1415، ج: 1 ص: 38)
“Adapun hukumnya (mempelajari ilmu aqidah) secara umum adalah wajib, maka telah disepakati ulama pada semua ajaran. Dan penyusunnya adalah Abul Hasan Al-Asy’ari, kepadanyalah dinisbatkan (nama) Ahlussunnah sehingga dijuluki dengan Asya’irah (pengikut faham Abul Hasan al-Asy’ari)”(Al-Fawakih ad-Duwani, Ahmad an-Nafrawi al-Maliki, Dar el-Fikr, Beirut, 1415, juz 1, hal. 38).  
كذلك عند أهل السنة وإمامهم أبي الحسن الأشعري وأبي منصور الماتريدي (الفواكه الدواني ج: 1 ص: 103)
“Begitu pula menurut Ahlussunnah dan pemimpin mereka Abul Hasan al-Asy’ari dan Abu Manshur al-Maturidi” (Al-Fawakih ad-Duwani, juz 1 hal. 103)
وأهل الحق عبارة عن أهل السنة أشاعرة وماتريدية أو المراد بهم من كان على سنة رسول الله صلى الله عليه وسلم فيشمل من كان قبل ظهور الشيخين أعني أبا الحسن الأشعري وأبا منصور الماتريدي (حاشية العدوي، علي الصعيدي العدوي، دار الفكر، بيروت، 1412 ج. 1، ص. 151)
“Dan Ahlul-Haqq (orang-orang yang berjalan di atas kebenaran) adalah gambaran tentang Ahlussunnah Asya’irah dan Maturidiyah, atau maksudnya mereka adalah orang-orang yang berada di atas sunnah Rasulullah Saw., maka mencakup orang-orang yang hidup  sebelum munculnya dua orang syaikh tersebut, yaitu Abul Hasan al-Asy’ari dan Abu Manshur al-Maturidi” (Hasyiyah Al-’Adwi, Ali Ash-Sha’idi Al-’Adwi, Dar El-Fikr, Beirut, 1412, juz 1, hal. 105).
والمراد بالعلماء هم أهل السنة والجماعة وهم أتباع أبي الحسن الأشعري وأبي منصور الماتريدي رضي الله عنهما (حاشية الطحطاوي على مراقي الفلاح، أحمد الطحطاوي الحنفي، مكتبة البابي الحلبي، مصر، 1318، ج. 1، ص. 4)
“Dan yang dimaksud dengan ulama adalah Ahlussunnah Wal-Jama’ah, dan mereka adalah para pengikut Abul Hasan al-Asy’ari dan Abu Manshur al-Maturidi radhiyallaahu ‘anhumaa (semoga Allah ridha kepada keduanya)”(Hasyiyah At-Thahthawi ‘ala Maraqi al-Falah, Ahmad At-Thahthawi al-Hanafi, Maktabah al-Babi al-Halabi, Mesir, 1318, juz 1, hal. 4).
Pernyataan para ulama di atas menunjukkan bahwa tuduhan dan fitnahan kaum Salafi & Wahabi terhadap Asy’ariyyahadalah tidak benar dan merupakan kebohongan yang diada-adakan. Di satu sisi mereka mengeliminasi (meniadakan)Asy’ariyyah dari daftar kumpulan Ahlussunnah Wal-Jama’ah, di sisi lain mereka malah dengan yakinnya menyatakan diri sebagai kelompok Ahlussunnah Wal-Jama’ah yang sebenarnya.
Boleh dibilang bahwa aqidah Ahlussunnah Wal-Jama’ah di masa belakangan yang diajarkan oleh para ulama di dalam kitab-kitab mereka tidak ada yang tidak berhubungan dengan Asy’ariyyah, malah hubungan ini seperti sudah menjadi mata rantai yang baku dalam mempelajari ilmu aqidah. Hanya kaum Salafi & Wahabi lah yang menolak adanya hubungan itu, dan dalam mengajarkan ilmu aqidah mereka langsung berhubungan dengan ajaran para ulama salaf. Padahal Abul Hasan al-Asy’ari sudah lebih dulu menjelaskan ajaran para ulama salaf tersebut jauh-jauh hari sebelum kaum Salafi & Wahabi muncul, apalagi masa hidup beliau sangat dekat dengan masa hidup para ulama salaf.
Sebutan Ahlussunnah Wal-Jama’ah bagi Asy’ariyyah dan “pemimpin Ahlussunnah Wal-Jama’ah” bagi Abul Hasan al-Asy’ari, hanyalah sebagai suatu penghargaan dari para ulama setelah beliau atas jasa-jasa beliau dalam menyusun aqidah Ahlussunnah Wal-Jama’ah serta perjuangan beliau dalam mempopulerkan dan menyebarluaskannya di saat aqidah sesat Mu’tazilah masih berkuasa. Tentunya, ini tidak berarti bahwa faham Asy’ariyyah atau Maturidiyyah adalah satu-satunya yang sah disebut sebagai Ahlussunnah Wal-Jama’ah, sebab baik Abul Hasan al-Asy’ari maupun Abu Manshur al-Maturidi hanyalah menyusun apa yang sudah diyakini oleh para ulama salaf  yang bersumber kepada al-Qur’an, Sunnah Rasulullah Saw., dan atsar para Shahabat. Jadi, mereka hanya menyusun apa yang sudah ada, bukan mencipta keyakinan yang sama sekali baru.
Di saat para ulama Ahlussunnah Wal-Jama’ah merasa berbahagia dengan mengakui diri sebagai pengikut ajaranAsy’ariyyah, kaum Salafi & Wahabi justeru malah melepaskan diri dari ikatan itu, dan memberlakukan terminologi umum tentang Ahlussunnah wal-Jama’ah yang tidak ada hubungannya dengan Asy’ariyyah. Itu memang hak mereka, tetapi masalahnya, bila di dalam mempelajari aqidah tidak ada format baku yang disepakati atau tidak ada ikatan yang jelas dengan para ulama terdahulu dalam memahami al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah Saw. serta atsar para Shahabat, maka akan ada banyak orang yang dapat seenaknya mengaku sebagai Ahlussunnah Wal-Jama’ah dengan hanya bermodal dalil-dalil yang mereka pahami sendiri. Dan keadaan ini berbahaya bagi keselamatan aqidah umat Islam.
Sebagai contoh, kaum Salafi Wahabi boleh saja mengaku sebagai Ahlussunnah Wal-Jama’ah yang tidak ada hubungan sejarah dengan Asy’ariyyah, tetapi asal tahu saja, ternyata tidak seorang pun ulama Ahlussunnah Wal-Jama’ah yang berfatwa atau berpendapat seperti mereka bahwa memuji dan menyanjung Rasulullah Saw., bertawassul dengan beliau setelah wafatnya, dan bertawassul dengan para wali atau orang shaleh yang sudah meninggal adalah sebuah sarana kemusyrikan. Jadi, siapakah yang lebih pantas disebut Ahlussunnah Wal-Jama’ah,kaum Salafi & Wahabi yang memahami aqidah para ulama salaf dengan caranya sendiri sehingga berbeda kesimpulan dengan para ulama salaf itu, ataukah para pengikut Asy’ariyyah yang menerima ajaran aqidah ulama salaf secara turun temurun dari generasi ke generasi melalui para guru dan kitab-kitab mereka? Wallohu a’lam bish-Showab