Pages

Jumat, 17 Juni 2011

BERDAKWAH BUKAN MENGHAKIMI



“Serulah  (manusia) ke jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik, dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya. Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk.” (QS. An-Nahl : 125)

            “Maka disebabkan rahmat dari Allah kamu berlaku lemah-lembut terhadap mereka,. Sekiranya kamu bersikap  keras lagi  berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu ma’afkanlah mereka, mohonkan ampun bagi mereka, dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu.” (QS. Al-Imran :159)

Sudah menjadi syari’at yang tegas, bahwa dalam berdakwah dibutuhkan sikap bijaksana dan lemah lembut. Hal ini merupakan koridor syar’i yang disebutkan secara jelas dalam Al-Qur’an maupun dalam Sunnah Rasul saw yang telah ditempuh oleh para pendahulunya, yaitu para Salafush Shalih dan ulama-ulama yang mengikuti mereka dengan baik. Sebagaiman firman Allah SWT :

”Orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) dari golongan muhajirin dan anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridha kepada mereka dan merekapun ridha kepada Allah dan Allah menyediakan bagi mereka surga-surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya selama-lamanya. mereka kekal di dalamnya. Itulah kemenangan yang besar.” (QS. At-Taubah: 100)

            Dalam hadits-hadits Rasulullah saw begitu banyak disebutkan tentang cara-cara bersikap yang lembut, terutama dalam berdakwah, diantaranya dari Anas ra ketika Rasulullah saw mengutus Mu’adz bin Jabal berdakwah ke Yaman, beliau bersabda, “Mudahkanlah dan jangan mempersulit, gembirakanlah dan jangan membuat mereka (manusia) lari.” (HR. Bukhari Muslim) Dari Jarir ra berkata, bahwa Nabi saw bersabda, “Barangsiapa yang diharamkan dari sikap lemah lembut, maka dia diharamkan akan kebaika seluruhnya.” (HR. Muslim)

            Ulama’ adalah pewaris para Nabi, begitu Rasul menggambarkan. Dan tugas utamanya adalah Ishlahul Ummah (Memperbaiki Ummat), artinya ulama harus mengajarkan kepada manusia tentang ilmu yang disyari’atkan, misalnya, Aqidah, Ubudiyah, Mu’amalah yang semuannya bertumpu pada nilai persamaan, pembedanya hanya ketakwaan tidak yang lain. Ini berarti banyak kesalahan-kesalahan yang dilakukan oleh sebagian ulama-ulama sekarang yang sedikit profokatif. Sebagai bukti ada beberapa media dakwah yang perlu kedewasaan dalam mensikapinya, baik melalui situs internet, buletin, majalah, buku, kaset, VCD, majlis taklim dan lainnya.

Media tersebut disamping digunakan untuk berdakwah, juga sebagai media berperang melawan musuh-musuhnya. Jika hal itu benar, berarti mereka telah keluar dari koridor dakwah sesungguhnya yang pernah dilakukan oleh Salafush Shalih.

            Dalam berdakwah, sikap hikmah sangat dibutuhkan, termasuk ketika membantah kebathilan. Kita bisa bercermin dari keteladanan Khalifah Ali bin Abi Thalib ra ketika mengutus Ibnu Abbas ra untuk menyadarkan penyimpangan kaum Khawarij. Ibnu Abbas ra melakukan tugasnya dengan baik sehingga sebagian besar pengikut kelompok ekstrim itu sadar, meskipun sebagian tetap keras kepala. Demikianlah adanya, dalam mengajak manusia ke jalan kebenaran dibutuhkan cara-cara bijaksana. Sebaliknya, ketika ajaran-ajaran kebenaran dilakukan dengan cara-cara keras, maka manusia pun akan lari menjauhi. Bila penyebar jalan kesesatan bisa melunakkan hati manusia dengan cara lemah-lembut dan halus, mengapa para pengemban manhaj Salafush Shalih justru tidak melakukannya? Ada sebuah ungkapan menarik, “Seseorang bisa menolak kebenaran bukan karena isinya, tetapi karena caranya menyampaikan.” Dalam kata lain ormas islam NU mengatakan ”Al-Haqqu bilaa nidzaam, yaghlibuhul baathilu bin-nidzaam”. Kebenaran yang tidak ditegakkan, dijaga dan dilestarikan akan dikalahkan oleh kebatilan yang merajalela, kapanpun, dimanapun. Begitu kira-kira hukum sebab akibat berlaku. Fa’tabiruu yaa ulil albaab. (Jadikanlah pelajaran hai orang-orang yang berakal)

            Tidak ada maksud lain dibalik penulisan artikel ini selain mengajak ikhwan fillah agar        menyadari, bahwa ketidaksampaian materi dakwah islamiyah atau kurangnya respon masyarakat (yang masih awam), bukan karena sulitnya jalan kebenaran yang kita ajarkan, namun lebih dikarenakan kurangnya kebijaksanaan dalam penyampaian, karena berdakwah  diperlukan penyesuaian dengan kultur masyarakat, latar belakang pendidikan, ekonomi, serta setatus sosial lainnya. Sepanjang sejarah, Islam memiliki beribu-ribu ulama, juga beribu-ribu buku. Jika hanya mengambil sebagian kecil saja, lalu menutup diri darinya, tentu hal itu hanya akan menyempitkan diri sendiri. Dan pada akhirnya kita menjadi muslim yang fanatic, militan tapi tidak berdasar, kemudian menjadi muballigh atau ulama yang bukan memperbaiki umat, tetapi perusak umat. Rasulullah saw mengenai cara-cara berdakwah beliau bersabda, “Yassiruu wa laa ti’assiruu, farrihuu wa laa tunaffaruu” (permudahlah (dalam berdakwah) jangan engkau persulit, gembirakanlah jangan engkau buat mereka berlari) (Wallahu A’lam

           



Tidak ada komentar:

Posting Komentar